Pratama Persadha, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC, mengatakan bahwa peningkatan kecerdasan buatan (AI) membuat penipuan siber semakin berbahaya. Salah satu contohnya adalah kemampuan untuk membuat deepfake secara realtime. Ia mengatakan bahwa pengoptimalan model deepfake dan teknologi GPU saat ini membuat prosesnya lebih cepat, yang membuatnya dapat dilakukan dengan laptop gaming kelas menengah.
Kemampuan untuk melakukan deepfake secara realtime saat video call hampir menjadi kenyataan. Dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, proses ini jauh lebih cepat berkat teknologi GPU kontemporer dan optimisasi model deepfake."
Perangkat superkomputer atau rig komputasi tingkat perusahaan tidak lagi diperlukan untuk penipuan jenis ini. Dia juga menyatakan bahwa laptop gaming kelas menengah dengan GPU 6-8 GB VRAM cukup untuk menjalankan model deepfake realtime dengan kualitas yang meyakinkan.
Dengan menambahkan beberapa teknik berbasis cloud, ia memperkecil kebutuhan perangkat lokal. Platform AI-as-a-Service memungkinkan siapa saja dengan internet dan kartu kredit untuk menjalankan layanan manipulasi wajah dan suara.
Dengan kata lain, hambatan teknis telah mengalami penurunan yang signifikan. Penjahat siber yang dikenal dengan istilah "hacker siber" tidak lagi membutuhkan keahlian teknis yang luar biasa.
Untuk melakukan penipuan jenis ini, para pelaku hanya perlu memiliki kemampuan sosial, inovasi, dan akses ke perangkat lunak yang mudah diakses.
Pratama menyatakan bahwa kemajuan teknologi AI dalam dua tahun terakhir telah mengubah dunia keamanan siber.
Kemampuan komputasi menjadi lebih murah, model AI generatif semakin efisien, dan perangkat lunak menjadi lebih mudah diakses.
Perubahan ini tidak hanya mendorong inovasi yang baik, tetapi juga memberi penjahat siber peluang baru.
Penipuan berbasis deepfake, yang telah berkembang dari rekayasa video statis menjadi manipulasi visual dan audio yang berlangsung secara langsung, merupakan salah satu jenisnya.
Dia mengatakan bahwa fenomena ini menempatkan masyarakat dan organisasi dalam bahaya yang lebih kompleks karena batas antara interaksi asli dan tiruan semakin sulit dikenali.
Dengan banyak model AI open-source dan komersial yang mendukung manipulasi suara dan wajah dalam rentang waktu singkat hanya beberapa milidetik, deepfake secara real time sangat mungkin.
Ini disebut sebagai memungkinkan peretas menyamar sebagai atasan, rekan kerja, atau anggota keluarga dalam panggilan telepon langsung tanpa melakukan perekaman atau penyuntingan sebelumnya.
Kemampuan real-time ini, yang merupakan kelemahan deepfake konvensional dalam serangan sosial, membuat korban merasa sedang berinteraksi dengan manusia asli secara alami.
Cybertrend 2026
Tingkat otomatisasi dan personalisasi yang lebih besar diperkirakan akan menjadi tren penipuan berbasis AI pada 2026.
Pertama menyatakan bahwa fenomena impersonation fraud yang lebih sulit dideteksi akan diperkuat dengan penggabungan data bocor, profil publik, dan model yang dapat meniru perilaku dan gaya bicara seseorang.
Terangnya, penipuan investasi dan keuangan akan semakin dibungkus dengan deepfake yang dapat menggambarkan artis, pejabat, atau orang publik.
Selanjutnya, serangan penyelewengan identitas bisnis yang meniru panggilan video pejabat perusahaan akan berubah dari serangan email yang sebelumnya berbasis teks.
Selain itu, Pratama menyatakan bahwa AI akan digunakan untuk menciptakan gelombang serangan yang menggabungkan eksploitasi teknis dan rekayasa sosial untuk menemukan dan mengeksekusi kerentanan secara otomatis.
Menurutnya, undang-undang dan literasi digital yang akan digunakan untuk memerangi penipuan siber mungkin akan terus ada, tetapi dinamika penyerangan akan bergerak jauh lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri.
-Ads Here-